“Tidak!” aku benar-benar tidak mampu menatapnya, mata bening dan tatapan tajam itu selalu membuatku ciut, berkali aku mencobanya tapi entahlah, seperti ada cahaya yang begitu menyilaukan saat aku memberanikan diri menatap wajahnya.
“Kakak kenapa?” sudah kuduga pertanyaan yang terkesan polos dan tanpa rasa bersalah itu menghujaniku. Memangnya dia salah apa Rafa?
“hmm, gak,” jawabku asal, sembari berusaha menata perasaanku. “sebentar ada presentasi di depan kelas, jadi agak sedikit tegang.” Bohong banget.
“ya udah Kakak duluan aja, aku singgah ke perpus dulu. Good luck Kak!” sembari beranjak meninggalkanku yang diam mematung.
Rafa menghela napas panjang, kesal! Dengan langkah gontai ia segera menuju ruang kuliahnya, menghempaskan tubuhnya di deretan kursi kedua dari depan, matanya menerawang kemudian menghela napas lagi. Tom yang duduk di sampingnya hanya menggeleng.
Alfiana Rahman, nama itu selalu terngiang di telingaku sejak bertemu dengannya sekitar dua bulan yang lalu. Ia gadis yang ramah, cerdas, polos dan banyak bertanya, itulah yang membuatku merasa menjadi manusia paling pintar di dunia saat aku berada di depannya padahal kenyataannya terbalik. Dan satu lagi dia adalah gadis saleha.
Aku mengenalnya dari Rania, mereka bersahabat. Sementara Rania adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang aku beri harapan, aku menyayanginya, dia pun begitu. Tapi hubungan kami sama sekali tidak jelas, sejenis hubungan tanpa status.
Fiana, begitu ia sering dipanggil. Mendaftar di salah satu perguruan tinggi terkemuka dengan mengikuti program beasiswa. Rania memintaku menjadi pembimbing yang akan siap menjawab jika Fiana bertanya atau menemui kesulitan dan itu kulakukan dengan baik, karena Fiana pun sangat gemar bertanya. Sementara aku selalu memberinya jawaban yang sok spektakuler aku muak sendiri.
Saat semua urusan telah selesai, aku merasa mulai merindukannya, merindukan saat ia mengirimiku pesan berisi pertanyaan-pertanyaannya, rindu saat ia mengadukan kesulitannya dan aku merindukan pikiran-pikiran cerdasnya.
Karena rindu yang mengganggu ini, aku segera mengirimi ia pesan dan memintanya untuk menjadi temanku. Fiana menyambutnya dengan senang hati aku bahagia. Lalu aku mengajaknya bertemu berdua, yah hanya aku dan Fiana. Tapi justru karena itulah ia menolak. Ah, Rafa seharusnya aku sudah bisa menduganya.
Semakin hari hatiku semakin terusik oleh sosok Fiana, cinta ini semakin bergejolak, bahkan aku telah pandai merangkai kata-kata indah bak seorang penyair ulung, ah.. cinta, dasar cinta.
“plak!” aku tersentak kaget, lamunanku buyar oleh suara pukulan keras di atas meja.
“saudara Rafa El-ghifari silahkan baca diktat kuliah yang ada di depan anda dan maju untuk menggantikan presentasi saya!” suara itu menggema di setiap tembok-tembok ruangan dan memantul menikamku.
Dengan segan kuraih diktat yang ada di depanku disertai kebingungan, yang mana? halaman berapa?
“saudara Rafa, cepatlah sedikit!” suara dosen sialan itu kembali menggema.
“sial!” makiku dalam hati. Aku melangkah gontai, sementara Tom hanya cekikikan, awas kau Tom, kubalas nanti!
Aku memulai presentasi terburuk seumur hidupku dengan gugup, tak jelas jurusannya dan berakhir dengan sebuah peringatan, nilai ujian elektroku akan dapat C. Argh… kalau terus-terusan seperti ini bisa-bisa kuliahku berantakan.
Rafa melangkah tergesa menuju ruang kuliah Fiana, membiarkan Tom mengejarnya dengan susah payah.
“Rafa, lo dikejar tukang tagih utang?” Tom bertanya diselingi napasnya yang tersengal-sengal.
“gak usah banyak tanya deh Tom. Kalau lo mau ikut, ikut aja. Kalau gak ya udah tunggu di sini.” Jawabnya acuh dan mempercepat langkahnya meninggalkan Tom.
Rafa sampai di depan pintu kelas Fiana, menunggu gadis itu keluar dengan gelisah, ah Fiana kepolosanmu telah membuat hati seorang pria jadi tak menentu.
“Kak Rafa?” suara itu membuyarkan lamunanku, aku menoleh, dia tersenyum padaku. Oh Tuhan, bulan sabit yang indah. Gumamku.
“gimana presentasinya Kak?”
“hufh.. mengecewakan! aku gak bisa konsentrasi.” Ah, Fiana di saat seperti ini dia masih menanyakan presentasi yang sebenarnya tak pernah direncanakan itu, tahukah dia perasaanku?
“loh kok bisa? tumben?” mata bening itu menangkap kejanggalan.
“hufh.. karena.. karena kamu Fiana, kakak gak bisa konsentrasi karena terus memikirkanmu.” Mata cokelatnya menatap tajam, dahinya berkerut.
“Kakak mencintaimu Fiana, kakak merindukamu setiap saat, karena itu aku tidak bisa memikirkan yang lain selain kamu.” Kata-kata itu meluncur semulus jalan tol.
“lalu Kakak menyalahkanku?” ya ampun Fiana, bukan itu maksudku, susah juga menghadapi gadis sepolos ini. Batinku.
“tidak! Sama sekali Kakak tidak menyalahkanmu Fiana.” Jawabku tegas.
“lalu?” mata beningnya masih menyimpan tanya.
“kakak hanya ingin kepastian, apakah Fiana juga merasakan hal yang sama seperti yang kakak rasakan, apakah kamu bersedia menjadi milik kakak, apakah kamu bersedia membalas cinta kakak Fiana?” bimbang, oh Fiana mengertilah!
“aku pengen tanya Kak.”
“silahkan.”
“apa Tuhan itu Adil?”
“tentu saja,” jawabku bingung, kenapa Fiana bertanya seperti itu, apa dia ingin mengalihkan pembicaraan lagi.
“jika benar begitu, apakah Tuhan adil jika Ia membiarkan seorang gadis yang hati, jiwa dan pikirannya belum tersentuh oleh laki-laki manapun yang cintanya masih murni harus dimiliki oleh laki-laki yang hati, jiwa dan pikirannya senantiasa disibukkan oleh wanita, yang selalu menebar pesona dan harapan-harapan kosong kepada setiap wanita yang ia temui? adilkah itu Kak?” kata-kata itu mengalir deras bak sungai Eufrat, menghanyutkan semua yang ada di hadapannya, membasahi hati-hati yang kering karena kemarau panjang.
Hanya tetesan bening di pelupuk mataku yang mampu menjawabnya. Oh.. Tuhan, mata bening itu dan pertanyaannya yang terkesan lugu tapi sungguh ia lebih tajam dari anak panah, tepat menikam ulu hatiku.
Aku sadar betapa bejatnya aku, menebar pesona kepada setiap gadis yang kutemui dan memberi mereka harapan, perhatian dan rasa sayang yang sama, aku telah banyak menyakiti hati mereka yang rapuh. Laki-laki bejat sepertiku berani-beraninya mengharapkan Fiana yang bagai mutiara sedangkan aku hanya sebutir pasir. Tega sekali jika aku mengotori cinta Fiana.
Ahh, aku ingat ucapan Ustad yang pernah membawakan khutbah nikah di kampungku dulu. Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik pula.
Mata bening itu masih menatapku, kini tampak teduh.
“kita masih berteman Kak,” Tersenyum seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Oh Fiana.. kau akan mendapatkan keadilan itu. Pasti adikku.
Cerpen Karangan: Fatmailia Atha Azzahra
Post a Comment