“Terima kasih Ya Alloh karena masih memberiku kesempatan melihat sang bintang harapan di tiap pagiku. Dan untukmu penjajah hatiku, selamat pagi.”
Begitu biasa Dinara memulai harinya di tiap pagi sebelum beraktifitas. Dua kalimat di awal rutinitas harinya itu telah menjadi suatu hal yang hampir tak pernah dia lupakan semenjak lima tahun terakhir. Seperti itu pula dengan hari ini.
Baginya, tiap hari terasa indah. Penuh dengan harapan dan optimisme. Kenapa? Karena ada dia.Karena ada cinta dihatinya. Gana, sang penjajah hatinya. Lelaki itu telah menjadi pangeran dalam hatinya selama hampir lima tahun ini. Sosoknya seperti telah begitu menyatu dalam jiwanya hingga dia tak bisa lagi berpaling pada lelaki lain. Bagi Dinara, Gana adalah seorang lelaki yang luar biasa. Ganaadalah instrumen terpenting dalam hidupnya.
Konyol sekali kedengarannya. Tapi begitulah dia mencintainya, mencintai Gana. Ah bukan, menggilainya tepatnya. Dinara tak peduli jikapun orang menganggapnya bodoh karena cinta itu. Dia hanya senang seperti itu. Dan selama hampir empat tahun terakhir, Aivi lah yang tahu kegilaan Dinara itu. Aivi adalah sahabatnya sejak dia masuk kuliah hingga mereka baru saja lulus kuliah saat ini. Meski begitu, Aivi tak pernah tahu lelaki mana yang sebenarnya dicintai sahabatnya selama ini. Ia hanya tahu kalau Dinara mencintai seorang lelaki bernama Gana. Itu pun entah pasti atau tidak.
“Kau melamun? Dia lagi?” tiba-tiba Aivi menepuk pundak Dinara, membangunkan ia dari lamunannya yang sedang berpetualang ke negeri antah berantah, mencari sesosok pangeran yang ia rindukan. Aivi lalududuk di samping Dinara sambil memperhatikan orang lalu-lalang di taman kota. Hari minggu pagi memang jadwal rutin mereka pergi ke taman kota.
“Hah, kau tanya apa Vi?” Dinara melongo.
“Emm benar tebakanku! Sampai kapan Gana akan membuatmu seperti ini?!” ujarnya.
“Seperti ini? Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik saja.”
“Yah, mudah-mudahan memang benar kau tak apa-apa. Jangan sampai gara-gara dia, kau menutup mata dari kenyataan.”
“Maksudnya?” Tanya Dinara heran.
“Iya, bukankah kenyataannya kalian memang tidak pernah ada hubungan apa-apa? Dan entah perasaan seperti apa yang membuatmu begitu menggilainya. Cinta, penasaran, atau hanya obsesi?”
Jleb. Hati Dinara bergetar mendengar perkataan Aivi itu. Ia tidak tau kenapa, ada rasa sakit yang mengiris hatinya. Ia ingin menangis mendengarnya. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk tidak meneteskan air mata. Pilu rasanya.
“Di, kau baik-baik saja?” Aivi menatap Dinara dengan raut khawatir.
“Mmh. Iya.” Dinara mengangguk. Tapi ia bohong. Hatinya sama sekalitidak baik. Baginya perkataan Aivi itu adalah suatu pukulan maha dahsyat yang langsung menyadarkannya akan suatu ketidakpastian.
Batinnya menangis. Menyedihkan sekali rasanya. Benar kali ini ia terluka. Ini kenyataan. Aivi telah membangunkannya dari mimpi-mimpi itu. Tapi, Dinara tidak bisa jujur pada dirinya sendiri. Dinara tidak ingin mengiyakan apa yang telah Aivi katakan.
Lima tahun mencintai Gana dengan caranya sendiri rasanya cukup membuat ia hampir gila. Tapi, Dinara sangat menyenangi kegilaannya itu. Ia tak bisa dengan mudah kembali sadar dan melepaskan cintanya.
Dinara hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari bibirnya yang kelu itu. Ia hanya sedang berpikir saat ini. Berpikir tentang kata-kata Aivi tadi. Berpikir tentang dirinya, Gana dan perasaannya. Dan juga berpikir tentang sahabatnya itu, Aivi.
- Kenapa Aivi bisa berkata dan berpikir seperti itu? Kenapa baru sekarang dia berkomentar seperti itu setelah beberapa lama kami bersama? Apa dia telah begitu jengah dengan kegilaanku itu hingga dia bepikir seperti itu? Atau apakah memang cintaku pada Ganabegitu salah di matanya? Kenapa? -
Dinara merasa heran pada sahabatnya itu. Batinnya terus bertanya-tanya. Dinara merasa tak ada yang salah dengan perasaannya pada Gana. Ia hanya ingin mencintai seseorang seperti itu. Ia hanya ingin jadi seorang Dinara yang dengan segenap cinta dan doanya berhasil menjaga hatinya hanya untuk seorang Gana saja.
- Lalu kenapa Aivi membuatku terlihat begitu menyedihkan? Hei, aku tak pernah merugikan siapapun dengan perasaanku itu. Pun aku tak pernah merasa dirugikan sedikitpun oleh cintaku itu. Lagipula, aku yakin Gana tak pernah keberatan dengan keberadaan hatiku yang tak pernahmenjamahnya sedikitpun. Tak pernah pula aku berusaha menyentuh hati Gana. Aku hanya mencintainya dari sudut terindah yang bisa kurasa, dengan tetap membiarkan Gana aman dan nyaman dalam dunianya sendiri. Lalu, apa yang salah? -
Aah, Dinara tidak bisa berpikir terlalu banyak lagi. Hatinya masih ngilu. Mungkin Aivi hanya terlalu sayang padanya. Iya mungkin begitu.
Satu hari, dua hari, tiga hari, beberapa hari berlalu. Hari-hari Dinara berlalu seperti biasa. Tapi, hari-harinya jadi terasa menjemukan sekarang. Entah kenapa. Ia merasa kehilangan sedikit kebebasan untuk merasakan dalam-dalam getaran cintanya pada Gana. Yah, semenjak Aivi melontarkan ‘unek-uneknya’ tentang kegilaannya itu, Dinara merasa sedikitnya ada yang membatasi kebebasannya. Tapi, mungkin saja Aivi benar.
Ia sama sekali tak marah pada sahabatnya itu. Tidak. Sungguh. Ia hanya merasa perlu waktu yang lama – entah seberapa lama – untuk mencerna perkataan Aivi lalukemudian memahaminya. Dinara merasa apa yang dikatakan Aivi memang benar, yakni antara dia dan Gana tak sedikitpun ada hubungan apa-apa, tapi apakah salah jika ia mencintai Gana dengancaranya sendiri? Hanya itu.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Suara merdu Mandy Moore melengking indah dari ponsel Dinara. Nada dering untuk panggilan masuk. Dinara membuka flap ponselnya.
“Di.. hallo.. kau baik-baik saja?”
“Hallo.. assalamualaikum Aivi. Tak biasanya kau menelpon. Ada apa?”
“Eh, waalaikumsalam. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tanya, apa kau sudah melupakannya?”
Deg. Apa? Apa yang baru saja Aivi tanyakan? Dinara benar-benar kaget mendengarnya. Sungguh. Taksemudah itu melupakannya, Aivi. Dinara berkata-kata dalam hatinya.Belum sempat ia menjawab, Aivi sudah nyerocos di ujung sana.
“Kau harus melupakannya. Sudah cukup Di. Cinta itu bisa merusakmu, melenakanmu. Kau harus melupakannya. Ah, Ya Alloh. Bagaimana caranya menghentikanmu? Apa sesulit itu? Sungguh. Kumohon lupakan dia. Kau harus memulai semuanya dari awal. Bukalah mata dan hatimu Di. Lupakan dia.”
- Ya Alloh. Kenapa Aivi bersikap seperti itu? Kenapa? Apa dia tak tahu kalau yang ia katakan membuatku sakit. Benar-benar membuatku sakit. Sungguh. Tak semudah itu. -
“Hallo.. Di? Kau masih di sana? Kau baik-baik saja?”
“Mmh. Aku akan mencobanya.” Dinara menjawab sekenanya.
“Bagus. Aku selalu ada untukmu. Sudah ya. Assalamualaikum.”
Tut. Sambungan terputus. Waalaikumsalam. Dinara mendesah pelan. Ia masih memegang ponselnya. Lagi-lagi dia merasa sulit untuk mencerna dan kemudianmemahami apa yang sudah Aivi katakan barusan. Selalu begitu. Logikanya selalu berfungsi lebih lambat dibandingkan perasaannya. Ia hanya bisa meneteskan air mata. Rasa sakit – tentu saja rasa sakit yang diakibatkan oleh perkataan Aivi tempo lalu – yang sudah hampirbisa ia lupakan, kini kembali hinggap di hatinya.
- Ya Alloh.. apa selama ini aku terlihat seperti orang tak waras? Kenapa Aivi bersikeras bersikap seperti itu? Apa dia sudah benar-benar jengah melihat kegilaanku itu? Ya Alloh.. apa yang salah dari semua yang aku rasakan selama ini? Dan apa? Aivi berkata kalau cinta ini bisa merusakku, melenakanku? Tidak. Sama sekali tidak. Cinta ini justru menguatkanku. Mengubahku menjadi lebih baik. Memberiku harapan di setiap hariku. Memberiku nafas untuk tetap bertahan dalam kesendirian. Memberiku semangat dalam menghadapi berbagai masalah hidup. Dan yang terpenting, cinta iniselalu mendekatkanku pada-Mu. YaAlloh.. apa Aivi tak tahu semua itu? Melupakan Gana bukanlah hal yangmudah dan memang bukan hal yang aku inginkan. Tidak sama sekali. -
Pandangan Dinara kabur. Ia bukan hanya meneteskan air mata, tapi menangis sesenggukan. Ia memegang dadanya. Ada yang sakit di sana. Benar-benar sakit. Ia melangkah menuju meja belajarnya. Ia lalu membuka tas yang tergeletak di sana. Direngkuhnya sebuah sapu tangan kotak-kotak biru muda. Ada tulisan kecil di salah satu sudutnya. Gana.
- Apakah aku benar-benar harus melepaskan semua perasaanku padamu? Apakah aku tak boleh lagimencintaimu – meski pastinya kau tak pernah tahu hal itu? Apakah aku harus mengubur dalam-dalam semua harapanku tentangmu? Tapi,aku benar-benar ingin bertemu denganmu. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Meski hanya untuk satu kali lagi. Meski hanya untuk beberapa detik saja. Itu tak apa. Sungguh. Aku hanya ingin berterima kasih padamu, Gana. Berterima kasih untuk semuanya. Ya. Aku belum sempat melakukan itu. -
Dinara bergumam lirih sendirian. Didekapnya sapu tangan itu erat-erat. Lalu, pikirannya beralih ke suatu malam, lima tahun silam. Saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Saat ketika ia belum seperti sekarang. Saat dimana satu hal berhasil mengubah hidupnya.
Saat itu, Dinara tengah berjalan sendirian ketika seorang om-om mencoba merayunya untuk ikut bersamanya. Bagaimanalah om-om itu tidak bersikap demikian, penampilan Dinara saat itu lebih mirip dengan wanita malam. Ditambah pula ia berjalan sendiriandi kala malam telah sepenuhnya pekat. Mana ada wanita baik-baik keluyuran tengah malam dengan penampilan seperti itu coba?
Dinara mati-matian menolak – karena memang dia toh bukan wanita malam yang dikira om-om itu -, sementara si om-om mati-matian memaksanya. Dinara berteriak meminta tolong. Dan di saat itu, seorang pemuda – yang entah kebetulan lewat atau memang telah sengaja dikirim Tuhan – mendekati Dinara yang sedang berusaha melepaskan diri dari si om-om.
“Tolong lepaskan dia Pak. Dia ini adik saya. Dia wanita baik-baik danbukan wanita seperti yang Bapak kira. Sungguh Pak, dia wanita baik-baik. Hanya saja, dia belum cukup dewasa. Tolong jangan ganggu dia Pak. Bapak akan menyesal jika melakukannya.” Pemuda itu berkata dengan nada memohon pada si om-om. Si om-om yang entah kenapa merasa percaya dengan yang dikatakan pemuda itu langsung melepaskan Dinara. Ia bergegas meninggalkan tempat itu sambil bersungut-sungut, “Urus adikmu itu. Mungkin lain kali ia tak akan selamat jika masih seperti itu.” Pemuda itu hanya mengangguk.
Suasana malam itu begitu sunyi danlengang. Dinara yang merasa shock dengan kejadian itu menangis sesenggukan di tepi jalan. Pemuda itu menghampirinya dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dari dalam saku celananya dan mencoba menenangkan. Dia kemudian membawa Dinara ke dalam mobilnya dan mengantarkanDinara pulang. Ia lalu menanyakan alamat gadis itu. Tak berapa lama, mobil pemuda itu sampai di depan sebuah rumah mewah. Rumah Dinara. Mereka berdua lalu turun dari mobil itu.
“Aku bukan wanita seperti itu.” UjarDinara yang masih menangis.
“Om-om tadi atau pria manapun pasti tidak akan berani mengganggumu jika kau tak keluyuran tengah malam begini dan penampilanmu tak seperti itu. Tapi, aku percaya kau wanita baik-baik. Sungguh.” Pemuda itu kembali ke mobilnya. Meninggalkan Dinara yang masih terpaku. Mobilnya melesat menjauhdari hadapan Dinara.
Dinara tersadar. Dia melihat sekeliling dan mendapati ia sendirian disana. Lalu, dia melihat sapu tangan di genggaman tangannya. Sapu tangan kotak-kotak biru muda. Pandangannya tertuju pada tulisan yang dijahit dengan benang hitam di salah satu sudut sapu tangan itu. Gana. Hatinya berdesir halus ketika mengingat pemuda yang baru saja menolongnya itu. Pemuda baik hati yang sama sekali tak dikenalnya.
Sejak saat itu, Dinara berubah. Gayahidupnya, penampilannya, tingkah lakunya, tutur katanya, pemikirannya. Semuanya berubah menjadi lebih baik. Sungguh, kekuatan cinta yang begitu indah. Bertahun-tahun ia selalu berharap suatu saat bisa bertemu kembali dengan pemuda yang telah menyelamatkan hidupnya itu. Ia selalu ingat kalau ia belum sempat berterima kasih pada pemuda itu, hingga saat ini.
To be only yours, I pray, To be only yours… I know now you’re my only hope
Panggilan masuk. Bayangan masa lalu itu kemudian memudar. Dinara menyeka air matanya. Lalu ia membuka flap ponselnya.
“Assalamualaikum Aivi. Kenapa lagi?”
“Waalaikumsalam. Aku lupa memberitahumu Di. Minggu depan, datanglah ke rumahku. Ada syukuran. Oya, aku akan mengenalkanmu pada seseorang. Seseorang yang sangat aku sayangi.Emm kau pasti menyukainya. Ah hati-hati, kau bisa mencintainya. hehe”
“Kenapa?”
“Ya, karena dia memang pantas disukai, dicintai. Sudah ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Dinara menghela nafas. Akhir-akhir ini ia lebih sering menghela nafas. Entah kenapa. Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Aivi barusan.
- Mengenalkanku pada seseorang yang sangat ia sayangi? Menyukainya? Mencintainya? Siapa? Syukuran? Ah, iya. Jangan-jangan Aivi akan dilamar. Seseorang yang ia maksud adalah calonnya barangkali. Iya. Begitu sepertinya. Tapi, kenapa dia tak pernah bercerita sebelumnya padaku? Ah, sahabat macam apa aku ini? Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan Aivi selama ini. Mungkin, karena aku terlalu sibuk dengan kegilaanku itu. Ya Alloh.. Aivi, maafkan aku. -
Seminggu berlalu begitu cepat. Tapi, bagi Dinara waktu jadi terasa begitu lambat. Itu karena perasaannya sedang begitu tak menentu. Yah, begitulah.
Dinara sudah sampai di depan rumah Aivi. Banyak mobil berjejer disana. Sepertinya, semua keluarga besar Aivi sedang berkumpul untuk acara syukuran itu.
Dinara melangkah masuk ke rumah besar itu. Pandangannya langsung tertuju ke dalam rumah. Banyak orang di dalam sana. Dan, Ya Alloh.. jantung Dinara hampir berhenti berdetak. Nafasnya tiba-tiba sesak. Ia melihat Aivi di sofa ruang tamu. Tapi, perhatiannya bukan tertuju pada sahabatnya itu, melainkan pemuda tampan di samping Aivi. Pemuda itu, Dinara yakin pernah melihatnya. Ya, bagaimana mungkin ia lupa? Tapi, kenapa pemuda itu ada di sini? Dan.. dan.. pemuda itu terlihat begitu dekat dengan Aivi. Apa mungkin? Dinara tiba-tiba langsung memegang dadanya. Ada yang menggerogoti hatinya lagi. Dan kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
- Bagaimana mungkin seperti ini Ya Alloh? Kenapa harus Aivi? Kenapa Aivi harus bersama Gana? Dan, mereka terlihat benar-benar akrab. Mereka sedang bercanda. Aivi tersenyum, tertawa. Itu sempurna ekspresi bahagia dari Aivi. Bagaimana mungkin? Ya Alloh. -
Dinara masih mematung di depan pintu. Kakinya lumpuh seketika. Matanya perih. Sungguh perih. Tapi, bagaimanalah ia akan menangis di saat seperti itu? Beribu pertanyaan menyesaki benaknya satu per satu.
- Apakah ada yang pernah merasakan ketika senyuman orang lain nyatanya justru membawa lukadi hati kita? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika tawa orang lain tak sadar justru membuat air mata kita terjatuh? Aku pernah. Apakah ada yang pernah merasakan ketika kebahagiaan orang lain sebenarnyatidak – sama sekali tidak-membuat hati kita bahagia juga? Aku pernah. Ya. Aku pernah merasakan itu semua. Di sini. Saat ini. Entah perasaan macam apa namanya. Yang jelas, ini sungguh menyakitkan. -
“Dinara.. kau sudah datang? Ayo sini.” Suara Aivi tiba-tiba menyadarkan Dinara yang sedang terpaku. Aivi menghampiri Dinara dan membawanya masuk. Entah kenapa, Dinara merasa sulit untuk melangkahkan kakinya. Dengan enggan akhirnya ia menapakkan kakinya selangkah demi selangkah.Mereka lalu duduk tepat di hadapan pemuda itu. Pemuda itu tersenyum manis pada Dinara. Hati Dinara semakin ngilu.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” ujar Aivi sambil menepuk pundak Dinara. Dinara tak berani menjawabnya. Andai saja Aivi tahu, pemuda itu adalah pangeran hati Dinara selama lima tahun ini.
“Bagaimana, kau menyukainya bukan?” Aivi melontarkan kembali pertanyaan yang sama. Namun, kali ini bukan pada Dinara. Melainkan pada pemuda di hadapannya. Pemuda itu hanya tersenyum. Wajahnya memerah. Dinara masih tak mengerti.
“Namanya Rida Lenggana. Dia saudara sepupuku. Ah, kau pasti takingat? Ya, mana mungkin. Selama ini kau sibuk dengan Gana mu itu. Bukankah aku pernah menceritakannya padamu beberapa kali? Rida, saudara sepupuku yang sejak lima tahun lalu kuliah di Turki dan sudah punyapekerjaan tetap di sana. Ya ampun Di, kau benar-benar tak pernah mendengarkan ceritaku sepertinya.”
Seperti biasa, Aivi nyerocos tanpa memperhatikan respon si pendengar. Sementara itu, Dinara merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia masih juga tak bersuara.
- Sepupu? Bukan calon suami? Ya ampun, kenapa aku begitu cepat menyimpulkan? -
“Kau tahu Di? Aku sangat menyayanginya. Dia lelaki baik dan pantas mendapatkan yang baik pula. Dulu dia pernah menyukai seorang wanita yang ditemuinya suatu malam di jalan kota. Dia bilang dia tak bisa melupakan gadisitu. Tapi, untunglah Rida tak sepertimu yang sulit sekali melupakan Gana. Dia langsung menyukaimu ketika pertama kali aku menunjukkan fotomu empat tahun lalu. Dia semakin menyukaimu sewaktu aku berceritabanyak tentang kau. Setiap kami berkomunikasi, dia selalu menanyakan kabarmu dan memintaku bercerita tentangmu, semua hal tentangmu. Tapi, dia melarangku memberitahumu. Dia ingin agar kau tetap seperti itu, menggilai Gana. Dia tak ingin mengusik kegilaanmu itu katanya. Tapi sewaktu dia pulang dari Turki minggu lalu, dia akhirnya memintaku untuk mengenalkanmu langsung padanya. Karena itu aku bersikeras menginginkankau melupakan Gana. Aku pikir, kau pasti akan menyukai sepupuku ini. Kalian sangat cocok.”
Dinara masih diam. Tapi, kali ini rasa sakitnya berangsur hilang. Tergantikan oleh perasaan yang entah apa namanya. Bahagia, terharu dan apalah itu. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mungkin ini terjadi? Sementara itu, pemuda di hadapannya bersemu merah.
“Aku suka nama Gana. Aku ingin dipanggil begitu. Sungguh. Ah, tapi tak ada yang tahu hal itu. Semua orang malah memanggilku Rida.” Pemuda itu terdiam sesaat. Lalu dengan terbata ia melanjutkan. “Emm.. Apa.. apa kau mau ikut bersamaku ke Turki? Tentunya, setelah kita menikah di sini.” Pemuda bernama Rida Lenggana itubaru saja mengucapkan kata-kata yang sudah lama ingin ia sampaikan pada gadis dihadapannya. Gadis yang sudah ia sukai sejak pertama kali bertemu lima tahun lalu di suatu malam ketika ia menikmati malam terakhir di kota kelahirannya sebelum ia berangkat ke Turki. Perasaan lega, cemas dan bahagia bercampur aduk di hatinya.
Dinara tak kuasa menahan air matanya terjatuh kali ini. Biarlah semua orang melihat ia menangis saat ini. Karena toh selama ini tak ada yang tahu bagaimana ia menangis dalam kesendiriannya, bagaimana ia menangis menahan semua perasaannya, bagaimana ia menangis di setiap harapan yang ia panjatkan dalam doa-doanya. Biarlah.
Dinara mengeluarkan sapu tangan kotak-kotak biru muda bertuliskan nama Gana – yang selalu ia bawa kemanapun – dari tas tangannya. Sambil mengangguk ia berikan sapu tangan itu pada pemiliknya. “Terima kasih, untuk semuanya.” Ujarnya lirih sambil berurai air mata. Pemuda itu tersenyum saat menerima kembali sapu tangan miliknya.
Aivi melongo melihat pemandangan di hadapannya. “Ya ampun, jadi selama ini?”
—
Dan ketika harapan yang kita panjatkan dalam setiap doa-doa kita tak langsung dijawab-Nya dengan kata Ya atau Tidak, maka sesungguhnya Ia menjawab, “Tunggu, Aku akan berikan yang terbaik untukmu pada waktunya.”
Post a Comment